Menelaah Sekolah
Beberapa
waktu terakhir ini, banyak yang tanya-tanya ke saya tentang gimana cara milih
sekolah buat anak. Dengan senang hati, saya jawab sebisa saya. Bukan karena
saya ahli pendidikan atau hobi belajar sih. Cuma saya tau banget bingungnya
nyari sekolah yang pas buat anak. Dan karena sudah melewati fase itu, saya
pengen juga berbagi sedikit.
Di
awal saya selalu ngingetin, supaya kita nggak ‘ngarep’ terlalu banyak sama
sekolah. Sebagai orang tua kita musti inget bahwa sekolah itu cuma fasilitator
aja. Keluarga adalah tempat belajar yang utama dan bagaimanapun, semua itu
tergantung sama anaknya. Karena itu, susah untuk menemukan sekolah yang
bener-bener sejalan dengan apa yang kita mau. Walaupun pada akhirnya, dari
sekian banyak sekolah itu kita harus memilih yang sesuai dengan prinsip
parentig kita. Nggak usah semua, tapi satu atau dua prinsip terpentinglah
paling tidak. Karena selebihnya pasti ada hal-hal yang harus kita kompromikan.
Nggak
jarang juga, sekolah-sekolah berprinsip bagus dikaburkan dengan mereka-mereka
yang bergabung di dalamnya. Bahasa awamnya, dikaburkan dengan pergaulan. Baik
pergaulan anak-anaknya maupun orang tuanya. Makanya saya sering bilang, yang
paling enak untuk menilai sekolah adalah dengan terjun langsung ke sekolah itu
sendiri. Jangan terlalu percaya sama review di internet. Ngobrol langsung sama
anak-anak dan ibu kantinnya. Tanya-tanya langsung sama kepala sekolahnya.
Biasanya justru yang seperti itu lebih insightful ketimbang dateng cuma ke
acara Open Housenya (eh tapi penting juga datang ke acara Open House ini,
karena biasanya suka ada diskon hehehehe).
Bicara
soal prinsip, kita seringkali susah nyebutin apa prinsip kita sebenar-benarnya
sebagai orang tua. Kadang kita cuma tau nggak pengen kaya gini atau kaya gitu
tapi nggak bisa solid nyebutin pengen yang seperti apa. Inilah beberapa prinsip
saya waktu memutuskan memilih sekolah Malicca dua tahun yang lalu.
Prinsip
saya yang pertama, saya adalah orang yang realistis.
Saya
bergerak mulai dari realita sistem pendidikan yang tersedia di Negara ini.
Yaitu, sekolah nasional (negeri atau swasta), sekolah nasional plus atau
sekolah internasional. Sekolah nasional,
yaitu sekolah negeri dan swasta yang menggunakan kurikulum pendidikan Indonesia.
Sekolah internasional yang ada di Jakarta HANYALAH Jakarta International
School, yang diperuntukkan untuk para expat dan mereka sama sekali tidak
mengadopsi kurikulum nasional (enggak tau kalau sekarang mereka memperbolehkan
WNI untuk sekolah di sini juga). Sisanya, itulah yang disebut sekolah nasional
plus. Merekalah sekolah-sekolah yang mengadopsi kurikulum lokal dan kurikulum
internasional. Jadi jangan percaya deh slogan-slogan Sekolah Internasional
kalau di dalamnya masih mengadopsi kurikulum lokal dan masih mewajibkan ujian
nasional (update terakhir tahun 2012 sih, departemen P&K masih mewajibkan
siswa semua sekolah kecuali sekolah internasional, untuk ikut ujian nasional).
Seringkali, embel-embel Cambridge, Montessori, IB, cuma jadi bahasa marketing
aja. Home Schooling pun masih butuh ujian persamaan paket A, B atau C. Jadi
intinya, selama masih tinggal di Indonesia realitasnya ya harus tetap berbekal
ijazah nasional.
Saya
adalah produk sekolah negeri. Walaupun saya lulus dari SMU yang berembel-embel
‘unggulan’ dan universitas yang katanya nomor 1, saya ngalamin sendiri sistem
pendidikan yang cuma ngandelin nama besar. Karena itu, saya sama sekali nggak
percaya dengan sistem pendidikan negeri di Negara ini. Sekolah Internasional
juga a big No No. Kenapa? Plis deh, saya nggak nikah sama Mat Damon gitu loooh
hahaha
Jadi,
pilihan semakin sempit. Yaitu, saya ingin menyekolahkan anak di sekolah
berkurikulum nasional plus. Emang sih, tetap ada kurikulum lokalnya dan
dicampur dengan kurikulum lain. Belum tentu yang terbaik juga, but I will take
the risk.
Realita
yang ke dua adalah, saya malas bangun pagi dan keadaan lalu lintas Jakarta
makin nggak bisa diprediksi. Jadi, pilihan semakin sempit hanya pada
sekolah-sekolah yang tersedia deket rumah. Paling nggak, nggak perlu berangkat sekolah
di pagi buta. Kasian anaknya juga kan.
Realitas
yang ke tiga adalah, budget. Enuf said, rite?
Prinsip
yang ke dua, saya ingin anak-anak saya tahu apa yang mereka inginkan dalam
hidup dan mau mengusahakannya.
Alasan
ini personal banget sebenernya. Karena saya melihat banyak sekali orang-orang
di sekitar saya yang nggak tau apa tujuan hidupnya. Mau kuliah aja bingung
ambil jurusan apa. Akhirnya ikut temen-temen ambil jurusan yang sama. Udah
lulus kuliah, bingung lagi mau kerja dimana. Giliran udah kerja, bingung lagi
kenapa karirnya kok gini-gini aja. Akhirnya berhenti kerja trus pengen jadi
pengusaha. Tapi, kemudian bingung juga harus mulai darimana. Akhirnya, nggak
kemana-mana juga.
Karena
itu, saya pengen banget masukin Malicca ke sekolah dimana dia bisa bebas
berkehendak. Nggak terlalu dikungkung peraturan. Belajar memilih pilihan dalam
hidup dan belajar menjalani setiap konsekuensinya.
Prinsip
yang ke tiga, anak adalah anak. Mereka bukan saya dalam bentuk kecil.
Mereka pribadi yang berbeda dengan saya dan
saya nggak bisa memaksakan nilai-nilai saya. Karena itu, saya ingin sekolah
yang menghalalkan anak untuk menemukan hal dengan cara mereka sendiri dan
memiliki pemahaman sendiri tentang sesuatu.
Jujur,
hal ke tiga ini yang paling sulit karena perlu observasi panjang untuk mengenal
karakter anak. Setiap ada Open House dan kesempatan untuk trial, saya selalu
mendaftar. Terus saya tanya Titan tentang pendapatnya. Dari cerita-cerita dan
cara dia bercerita, saya mendapatkan gambaran sekolah seperti apa yang
kira-kira bisa cocok buat Titan.
Perjalanan
mencari sekolah ini bertahun-tahun lamanya. Kadang, trial di sebuah sekolah
bisa sangat berdampak besar pada anak. Padahal, dia kan cuma dateng sekali aja.
Salah
satu trial yang cukup mengesankan adalah trial di sekolah Discovery Center di
Cipete. Kita cuma sekali datang trial ke sana. Kita tetap mencoba datang,
walaupun kita tahu nggak akan sekolah di sana. Hanya untuk mempelajari anak dan
sistem di setiap sekolah. Tapi ternyata, datang ke sekolah itu jadi milestone
buat Titan dan keliatan banget perubahannya setelah dia datang ke sekolah itu.
Padahal, kayanya nggak ada yang spesial dengan Discovery Center kecuali
sekolahnya diadain di rumah dan setiap aktivitas dibedakan menurut cluster.
Gurunya juga bukan tipe drilling, tapi mampu memanage anak-anaknya. Dari situ
saya belajar, bahwa anak saya ini bukan tipe yang bisa sekolah formal harus
duduk rapi di kelas (walaupun pada realitasnya dia bukan anak pecicilan),
karena dia sungguh pembosan. Dia butuh ruang untuk bereksplorasi sendiri dan
tidak menyukai keseragaman aktivitas. Dia nggak suka duduk dan bernyanyi
bersama, tapi dia suka duduk dan bernyanyi sesuai giliran. Dia nggak terlalu
tertarik dengan aktivitas yang mengasah gross motoric skill (skill kasar)I main
trampoline, berlari, tapi dia lebih
tertarik dengan aktivitas yang mengasah soft motoric skill (skill halus)
seperti memperhatikan dawai gitar, ke pet zone atau mengobrol.
Dari
situ saya belajar, bahwa keseharian karakter anak belum tentu menentukan cara
belajarnya.
Kemudian,
pernah juga saya tertarik dengan konsep sekolah alam. Tapi letaknya jauh
banget. Dan saya pikir-pikir, Titan juga tumbuh di lingkungan yang nggak
terlalu steril. Tinggal dekat dengan aki dan nini, Titan jadi terekspos dengan
banyak binatang dan pepohonan besar. Ikut bantu-bantu aki kasih makan ayam, kasih
makan ikan, nyangkok pohon, main sama monyet, anjing, kucing, kelinci, ketemu
laba-laba, ular (kadang-kadang), kena ulat bulu, manjat pohon, dan main sepeda
di danau kota, … kayanya semua itu cukup mengekspos dia dengan alam. Belum lagi acara memancing rutin di empang Aki
Mumu di Pandeglang. Konsep terjun langsung menghargai alam kayanya sudah bisa
dia dapetin dari kakeknya.
Pernah
saya ditanya kenapa nggak dimasukin ke sekolah Islam. Lalu saya tanya balik. Sebenernya buat siapa sih kebutuhan memahami
Islam itu? Kalau masukin anak ke sekolah Islam hanya untuk membagi tanggung
jawab orang tua supaya beban mendidik pendidikan agama bisa digantikan oleh
sekolah, itu yang saya nggak setuju. Pendidikan agama kan tugas dan kewajiban
orang tua. Itu alasan saya kenapa Titan nggak saya masukkan ke sekolah Islam.
Selebihnya sih karena masalah teknis aja, ujiannya ribet karena banyak banget
subjek yang harus diujikan. Lagipula, saya lebih suka pendidikan yang sifatnya
sekuler atau nggak ada pelajaran agamanya. Biarlah agama menjadi sesuatu yang
sifatnya pribadi dan tetap khusyuk dan tetap menjadi tanggung jawab
internalisasi orang tua dan anak.
Akhirnya,
setelah bertahun-tahun mencari dan mencoba, saya menemukan sekolah yang sesuai
dengan apa yang saya inginkan. Tapi apakah kemudian saya menjadi puas? Enggak
juga. Saya tetap merasa sekolah yang saya pilih juga ada kurangnya, dan saya
harus bisa menambal kekurangan itu. Caranya, ya dengan ikut belajar sama anak
dan terus memperluas wawasan. Untungnya, pihak sekolah selalu mengirimkan
silabus kurikulum di setiap term. Jadi, saya juga bisa browsing-browsing
mencari materi pendalaman.
Lantas
apakah membuat Titan jadi rajin bangun pagi dan berangkat ke sekolah dengan
serta merta karena sekolahnya telah berhasil membuatnya senang bersekolah?
Enggak juga. Saya yakin sesuatu yang rutin lambat laun akan jadi sangat
membosankan. Tapi saya sangat senang dan bangga, karena kalaupun Titan
memutuskan untuk bolos sekolah; dia tahu kenapa dia melakukan hal itu dan tahu
apa konsekuensinya.
Just
like what he told his teacher a few days ago when he decided to bail out from
school
“Hello
Miss, this is Malicca from K-1/B. Hari ini aku nggak masuk sekolah ya, soalnya
bosen. Pelajarannya lagi susah. Titan tahu kalau titan nggak masuk akan ada unfinished,
tapi nanti akan Titan kerjain;
dicicil besok-besok tapi bukan hari ini.”
dicicil besok-besok tapi bukan hari ini.”
Comments
Post a Comment